Rabu, 01 Juni 2011

Recovery Makna: "Merah Putih, Setiap Hati"




Tiga puluh dua tahun silam, di Kota Makassar, sekelompok anak muda, intensif berkumpul menyoal nasionalisme. Meski sangat belia, diskusi mereka tampak cukup berat, namun sangat substantif. Simpulan mereka mengerucut, bahwa untuk menyempurnakan kesadaran berbangsa,setiap bagian dari anak bangsa ini harus bisa berkomunikasi dengan baik. Seingat saya, ada dua sosok penting yang giat "menghayo-hayo" dalam komunitas itu, seorang lelaki muda asal Gorontalo bernama Bachtiar Abdul Rasul. Seorang lagi, putra asal Bone, bernama Andi Qashas Rahman.

Buah dari semua itu, digagaslah pendirian Sanggar Merah Putih Makassar, dengan jargon "Merah Putih, Setiap Hati". Pendekatan melalui aktivitas budaya, menurut mereka lebih "soft" ketimbang pidato dan berdebat kusir, meskipun diakui kegiatan seperti itu juga perlu. Tampaknya, pilihan memperjuangkan keutuhan nasionalisme berbangsa melalui jalur komunikasi budaya dan seni, mereka masuki dengan kesadaran penuh bahwa itu tidaklah ringan.

 Betapa tidak? Ruang dan waktu sejarah saat itu, sedang dipenuhi dengan dialektika pencatatan tentang siapa yang pahlawan dan siapa yang penghianat. Atmosfir debat kusir tentang siapa musuh dan siapa teman, siapa yang layak dapat bintang dan siapa yang pantas dilempari telur busuk, terasa sekali kehadirannya. Dan, sudah pasti tidak gampang melakukan kodifikasi dan  klarifikasi secara faktual, dengan justifikasi model apa pun, meskipun sebagian besar para pelaku sejarah masih hidup. Metode akademik bidang sejarah, dipastikan akan berhadapan dengan friksi dan versi masing-masing berdasar kepentingan untuk dicatat sebagai pahlawan atau siapa yang harus diberi stigma sebagai penghianat.

 Lagi-lagi, dalam ingatan saya yang pendek ini, pada suatu dialog, seorang lelaki setengah baya memprotes kepahlawanan seseorang yang dianggapnya kekeliruan besar. Menurutnya, sosok termaksud yang selama ini telah dicatat sebagai pahlawan oleh sejarah, mengingkari fakta yang sesungguhnya, bahwa yang bersangkutan tertembak ditempat karena kepergok "nakal" menggoda bedinde meneer Belanda dan sedang mencuri pot bunga di salah satu gedong kediaman ambtenar penjajah. Laki-laki yang mengaku satu kesatuan dalam tentara pelajar dengan "sang pahlawan" itu, memastikan bahwa kawannya sesungguhnya tidak mati sebagai taruna bangsa yang perlu ditaburi makamnya dengan bunga pada perayaan tujuhbelasan.

 Sebagai bahan lainnya, dengan nada sedih bercampur kecewa, lelaki yang mengaku tidak pernah mempersoalkan dirinya tercatat sebagai pahlawan atau penghianat, serta sama sekali tak ingin mengurus tunjangan veterannya karena merasa berjuang secara ikhlas dan tulus, secara blak-blakan menyoroti pembelokan sejarah yang menimpa seorang kawan seperjuangan yang lain. Menurutnya, hingga saat itu, salah satu kawan yang dimaksudnya telah terstigma sebagai anak penghianat. Apa pasalnya?


 Rupanya, ayah kawannya, sering terlihat berbincang-bincang dan gaul dengan meneer Belanda. Gosip tentang itu, diakuinya beredar dalam tubuh pasukan, membuat sang kawan acapkali dijauhi sesama pejuang. Padahal menurut dia, pada faktanya, ayah sang kawan itu yang profesinya "tuan guru" dan pasti bisa ngomong Londo, tak mungkin bisa menghindari percakapan dengan kalangan ambtenar Belanda yang umumnya juga terpelajar.  Gosip yang tidak pernah menjadi tuduhan resmi, bagi sang kawan memang sangatlah menyakitkan. Dia pun mengungkap suatu pembenaran dalam bentuk pertanyaan yang sangat jelas: "Bagaimana mungkin ayah dari kawanku itu, secara resmi bisa didakwa sebagai penghianat, jika pasokan informasi kepada saya sebagai komandan kesatuan pejuang mengenai kebijakan penjajah, datangnya dari "tuan guru" itu?"

 Kisah semacam tiga dekade silam itu, dipastikan akan semakin liar, heboh dan marak setelah enam setengah dekade proklamasi kemerdekaan bangsa kita dari tangan penjajah. Secara metodis, akademisi sejarah dipastikan akan bertambah rumit kerjanya untuk merancang klarifikasi faktual, tentang siapa sesungguhnya pahlawan dan siapa penghianat?  Belum lagi, jika ingin menelisik semua fakta sejarah pemberontakan pra maupun pasca tujuhbelas-agustus 65 tahun silam. Untuk realitas seperti itu, maka jika selama ini hanya ada dua pilihan kontroversial,"pahlawan atawa penghianat", niscaya akan bertambah menjadi "pahlawan atawa penghianat, atawa pemberontak". Nah.

Jika sudah seperti ini, memasuki dialog panjang yang pasti akan melelahkan, sebagai "ice-breaking", kita perlu memberi hormat seraya menyilangkan tangan ke dada kiri, kepada  semua pihak -- juga kepada sosok-sosok  muda belia yang pada tiga puluh dua tahun silam telah berkenan memberi kita ungkapan manis "Merah Putih, Setiap Hati" --  yang telah berperan mengemban suatu misi suci penting memelihara kebanggaan bangsa ini yang telah berhasil  membebaskan dari kaum penjajah. Bagaimana pun adanya, suatu makna telah terlahirkan dan tercatatkan. Lebih dari itu, kemerdekaan yang hakiki, ternyata memang adanya di hati. And so, murnikan hati, agar tidak terserang rasa cengeng.

Malili,17 Agustus 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar