Hari pertama di bulan Juni, ditetapkan sebagai momentum lahirnya Pancasila, suatu ideologi terbuka dan dinamis yang diakui secara tunggal sebagai dasar negara ini. Sejak berdirinya, Republik Indonesia sudah di-setting para pendirinya, untuk menggunakan itu sebagai falsafah kehidupan berbangsa dan bernegara. Berbagai ujian telah dilalui, dan sampai kini, alhamdulillah, lulus. Bagian terbesar anak bangsa, dipastikan masih kukuh mempertahankan, sebagaimana yang dilansir Presiden SBY berdasarkan hasil survey.
Tertanggal hari itu, di tahun 1945, Bung Karno menyampaikan kepada dunia tentang pilihan ini. Meski dengan teks yang tidak seperti yang biasa dibacakan saat ini, rupanya tidak ada lagi yang mempersoalkan lebih jauh. Begitu pula yang terkait dengan siapa pemilik gagasan. Sebagai pelepas dari segala kontroversi yang mungkin saja bisa timbul, maka Yamin-Soepomo-Soekarno, hanya kerap disebut-sebut sebagai penggali Pancasila.
Dalam kehidupan sehari-hari, begitu banyak kearifan yang seringkali membuat orang berdecak kagum dalam menilai toleransi yang mengemuka dalam peri kehidupan anak bangsa ini. Persoalkanlah, apa yang memang mendesak untuk dimasalahkan. Begitu kira-kira ragam bicara sebagian besar warga yang memang sedang berpacu dalam berbagai masalah pelik yang menghadang di depannya. Sampai-sampai, sebagian besar warga masyarakat pada suatu kabupaten di Sulawesi Selatan, ternyata telah memilih calon kepala daerahnya yang terbukti dalam debat kandidat tidak mampu menghapal Pancasila dengan baik. Mungkin, dalam benak mereka, ngapain juga mempersoalkan hapalan, yang penting khan amalannya. Lagipula, tidak ada sama sekali syarat yang mengharuskan.
Sampai disitu, tampaknya sekilas hapalan tidaklah penting. Memang, tidak perlu mensyaratkan hapalan Pancasila untuk menjadi seorang Bupati atau Gubernur, karena arena itu bukanlah lomba deklamasi. Tetapi, bukankah ungkapan seseorang menjadi penting untuk melukiskan apa yang ada dalam benak seseorang? Nah, betapa absurdnya seseorang, jika mengamalkan sesuatu secara mekanis tanpa konsep yang mendorong saraf motoriknya dalam berperilaku.
Soal penting atau tidaknya hapalan ini, juga telah diapresiasi dengan kelakar seseorang yang menuliskan di blog-nya, bahwa untuk pengamalan Pancasila tidak perlu dihapalkan sesuai dengan teks yang baku, sepanjang butir-butirnya bisa dimaknai, meski dengan bahasa ibunya sendiri. Contohnya, kira-kira seperti ini:
TEKS PANCASILA DALAM RAGAM BAHASA SUKU BANGSA NUSANTARA
Teks Baku | Teks Bahasa Jawa Ngoko | Teks Bahasa Ambon |
1. Ketuhanan yang Maha Esa | Siji: Gusti Allah ora ono koncone | 1. Torang samua tawu cuma ada Tuang Allah yaitu Tete manu... |
2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab | Loro: Dadi wong ojo kejem-kejem | 2. Orang Ambon samua harus tau adat |
3. Persatuan Indonesia | Telu: Indonesia bersatu kabeh | 3. Acang deng Obet harus bisa bakubae |
4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan | Papat: karo tonggo-tonggo nek ono masalah diomongno bareng-bareng | 4.Paitua deng maitua harus bae-bae di rumah rakyat |
5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia | Limo: mangan ga mangan sing penting kumpul | 5. Samua harus bisa jaga diri, karna Ambon lapar makan orang.......... |
Pendekatan seperti itu, selain rasanya memang dimaksudkan untuk bercanda saja, juga dapat dijadikan sebagai suatu penanda betapa Pancasila itu terbangun dari kesejatian budaya lama untuk berdirinya suatu budaya keindonesiaan yang sedang berproses. Itu berarti, bahwa ketunggalan tafsir akan menimbulkan banyak masalah, besar maupun kecil. Lagipula, siapakah yang merasa memiliki otoritas untuk itu? Sementara trio Yamin-Soepomo-Soekarno saja, jelas-jelas hanya menggalinya dari puing-puing budaya lama yang tersebar di nusantara ini.
Pada masa orde baru, ketunggalan semacam itu memang telah dipaksakan. Masih teringat, betapa muaknya para mahasiswa karena harus mengikuti penataran Pancasila, seakan-akan generasi muda adalah blanko kosong yang harus diisi dengan falsafah kearifan berbangsa dan bernegara. Memang, tidak semua materi yang disajikan berkategori sampah, bahkan secara prinsipil semuanya mengandung ajaran yang "baik-baik" saja. Akan tetapi, rupanya kenyinyiran rezim yang mereka permasalahkan.
Sebagai antitesa dari segala kebaikan yang dipaparkan dalam materi penataran, muncullah keburukan yang sekian lama seakan tersimpan dalam kotak pandora. Kerapkali, wajah penatar dibikin merah padam, karena mendapat umpan balik tentang realitas yang berseberangan langsung atau tidak langsung dengan materi yang yang disajikan dengan penuh keyakinan bahwa itulah milik kita yang sangat berharga untuk dihayati dan diamalkan. Gugatan terhadap pelembagaan Pancasila dengan model begini pun, akhirnya bergulir terus sampai BP7 dinyatakan non-aktif.
Keazas-tunggalan Pancasila, pun dipersoalkan saat itu. Penolakan datang dari berbagai elemen, tanpa pernah berujung dialog yang bermutu tentang apa sebenarnya yang dipersoalkan. Objeknya, materi penataran dianggap sebagai bukti adanya upaya memaksakan penafsiran kelompok tertentu untuk menjadi sesuatu yang berusaha menghilangkan tafsir-tafsir kearifan lainnya. Semakin didiskusikan, semakin banyak kelemahan yang ditemukan. Penataran demi penataran yang dilaksanakan pada semua unit dan jenjang, menjadi mubazir.
Sebaik apapun materinya, memang tidak dengan serta merta bisa matching dengan penghayatan tentang kearifan lain yang telah menjadi pengalaman batin sepanjang hidup seseorang dalam lingkung budaya lokalnya. Disinilah kebhinekaan kita kerapkali dihadapkan dengan masalah, ketika akan ditunggalkan dalam ke-ika-annya. Dalam perspektif kebangsaan sebagai komitmen, dimensi etiknya adalah kepelbagaian yang menyatakan diri untuk bersatu, dan sama sekali bukan dipersatukan yang biasanya ada dalam domain politik.
Aktualisasi Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, memang bukan hal yang mudah. Ibarat suatu orkestrasi kebangsaan akan menyajikan lagu-lagu berupa kumpulan nada dari pelbagai alat musik yang dimainkan oleh setiap suku bangsa nusantara. Untuk mengorganisir orkestrasi ini, dibutuhkan negara dengan segala perangkatnya. Nah, politisasi dalam kehidupan bernegara, dalam sekejap bisa menjadi begitu liar dan tidak terkendalikan, karena nafsu kekuasaan yang melekat padanya.
Sebagai seorang dirijen yang memegang tongkat pengatur, presiden mestinya berhati-hati. Dirinya harus paham lagu-lagu yang akan dimainkan, serta mengenal dengan baik segala nada yang hadir dari setiap alat musik yang dimainkan. Eksistensi nada dari setiap alat musik, seharusnya dapat memperkaya keindahan aransemen. Tidak selayaknya, dia membiarkan dominasi suatu nada dalam ansambel kebangsaan ini, karena itu akan menghilangkan kebhinekaan yang begitu kaya dan indah.
Malili, 1 Juni 2011