Orang bijak sering berkata: satukan kata dengan perbuatan. Pikiran dan tindakan, sejogyanya memang sejalan (on the track). Seringkali, pada tataran berfikir, semuanya masih bisa kompak. Bahasa lainnya, disitu ada kebersamaan, atau lebih menukik lagi, kerap disebut dengan ungkapan "sehati". Ya, Sehati di Luwu Timur, misalnya. Artinya, kurang lebih: semua yang ada di daerah ini, mempunyai satu pandangan untuk membangun. Cara pandangnya, mungkin saja berbeda, tetapi arah dan fokus pandangnya menuju ke satu gambaran, yaitu masa depan yang lebih baik.
Pada tataran seperti ini, yang bisa terdeteksi, atmosfir kekompakan cenderung dapat terkondisi dari banyak musabab, setidaknya bahwa semuanya telah memahami dengan baik tujuannya, sehingga seseorang tidak punya alasan untuk menolak kebersamaan dan kesehatian itu. Namun, sebagai antitesanya, mungkin juga karena ketidakpahaman yang parah, sehingga tidak memiliki bahan yang cukup untuk mendebat pandangan yang berkembang. Jadi, varian besarnya, pelaku bisa dikelompokkan menjadi dua kutub ekstrim: satu karena mengerti sekali, sementara yang lain sama sekali tak paham.
Nah, begitu masuk pada tahapan bertindak, mulai ada yang berkelok-kelok, miring ke kiri atau ke kanan. Konfigurasinya, membentuk kurva tidak teratur yang seakan-akan tidak akan pernah sampai pada keseimbangan (equilibrium). Pertanyaannya, mengapa bisa begitu? Boleh jadi, itu disebabkan oleh besarnya tantangan yang dihadapi, sehingga mengharuskan pola tindak bergeser, dimana sedikit atau banyaknya diupayakan untuk tidak menyimpang atau teguh pada arah tujuan semula. Dalam konteks ini, maka pelakunya, masih bisa diguyur dengan kias penyemangat, misalnya: "Go, go, go ahead, tidak akan lahir pelaut ulung dari laut yang tenang, maka teruslah berjuang".
Tetapi, ada pula fenomena yang berkata lain, terkait dengan mereka yang tergolong pada kutub yang tidak paham pada tujuan. Mereka ini, tampaknya gagap mengekspresikan diri. Nah, bertindak tanpa mengetahui arah, memang bisa fatal akibatnya. Bingung dan rasa frustrasi, akan selalu saja menghadang di hadapannya, ketika mereka ternyata tidak memiliki persiapan metodik dan kapasitas yang mumpuni. Alhasil, dengan mengandalkan tipudaya, orang seperti ini akan selalu mengumbar pragmatisme, memupuk sirik dan dengki, atau mungkin mencari kambing hitam, sebagai alasan pembenaran tindakan kontra-produktif mereka.
*****
Tujuan mencapai "Kabupaten Agroindustri 2015", adalah sasaran pembangunan daerah Luwu Timur yang sudah terbakukan. Pelayaran ke arah itu, sudah disiapkan dengan penalaran yang logis dengan dukungan spirit "tak akan surut kembali ke pantai semula". Oleh karenanya, tidak diperlukan debat kusir berkepanjangan, tentang: kemana perahu akan dilayarkan? Karena, semua itu sudah ada di kepala masing-masing, mulai dari nakhoda, awak sampai penumpangnya. Memang, akan selalu diperlukan evaluasi berujung solusi, antara para awak yang bisa membuat para penumpang menjadi tenang dan selalu merasa yakin akan sampai pada pantai tujuan, meskipun setiap saat ada angin dan gelombang yang seakan-akan bisa memecahkan lambung, mematahkan kemudi, atau merobek layar.
Menjelang milestone (batu penanda) bulan kesepuluh pelayaran ini, ternyata masih ada saja awak yang belum juga bisa melangkah dengan pasti pada alur yang sudah ditetapkan, padahal semua kelembagaan dengan tugas dan fungsi masing-masing telah terbagi habis. Mengingat banyaknya hal yang mesti dikerjakan -- bagi para awak -- jika betul-betul memahami tanggungjawabnya dengan baik dan benar, rasanya tidak akan punya waktu bergunjing tentang sesuatu yang tidak proporsional.
Namun, di saat yang bersamaan, pada faktanya ada juga suara sumbang, bergumam tentang kemana bahtera ini akan dilayarkan. Bahkan, agroindustri pun, diam-diam masih diperdebatkan sejumlah kalangan tertentu, yang justru menjadikan suatu penanda di dahi mereka, tentang pengetahuan yang sangat tidak memadai tentang itu. Lagipula, masa untuk berdebat tentang itu, sudah lewat. Situasinya kini, sudah sampai pada titik dimana tidak ada jalan untuk kembali (the point of no return).
Ungkapan yang berbunyi "ah, itu khan cuma teori" misalnya, justru menunjukkan pemahaman yang sangat keliru tentang substansi satunya kata dengan perbuatan. Bagaimana mungkin memisahkan antara teori dengan implementasi, jika kata sudah mewakili makna teori, dan tindakan mewakili makna implementasi dari pikiran? Teori memang harus sesuai dengan praktek atau fakta yang sebenarnya, serta menggunakan teori tanpa menyandingkannya dengan kenyataan, adalah masalah besar.
Namun, sikap meremehkan teori, justru akan menegaskan perilaku yang tidak terpelajar, meskipun pelakunya menyandang gelar akademis yang lumayan tingginya. Jangan-jangan, orang semacam ini, hanya berusaha menutupi ketidak-mampuan atau kesalahan dirinya selama ini, serta lebih jauh mencoba membumi-hanguskan gambaran visi pelayaran bahtera Luwu Timur ke masa depan, untuk kepentingan tertentu. Who knows? Hati orang siapa tahu.
Untuk yang seperti ini, rekomendasi terbaik dari para penumpang dalam bahtera Luwu Timur, atau rakyat seperti kami, mungkin saja begini: "Maaf, anda tidak kompeten, lebih baik mundur saja, jangan ganggu kami berlayar ke pantai tujuan". Karena, hanya itu yang pantas dianugerahkan kepada mereka yang tidak satu kata dengan perbuatannya. Tetapi, boleh jadi, semua ini dianggap teori saja. Witz.
Malili, 26 Mei 2011
Moch. Yayath Pangerang, Pemerhati Masalah Pembangunan, tinggal di Malili.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar